ReChARGE yOur SouL...

Tuesday, December 8, 2009

Tentang Akhir yang Bahagia

Wendy: I mad because you told my kids that in real life there's no happy ending. Skeeter: Look around you, Wendy. Do you see any happy ending here? Percakapan di atas dikutip dari film Bedtime Stories yang berkisah tentang cerita sebelum tidur yang menjadi kenyataan. Film ini dimainkan oleh Adam Sandler. Aku senang dengan film-film Sandler. Kebanyakan film-filmnya sederhana tapi megingatkan penontonnya bahwa ada hal-hal yang bisa mewarnai hidup selain rutinitas dan kekayaan juga bercerita tentang orang-orang yang terpinggirkan. Nonton saja misalnya Click, I now Pronounce You Chuck & Larry, atau Mr. Deeds. Selain pesan dari film-film tersebut, tentu saja akhir bahagia yang terjadi di saat film tersebut hampir selesai. Membahas tentang akhir dari sebuah film, aku teringat ceramah-ceramah di tahun 90-an tentang postmodernisme. Beberapa orang penceramah mengungka pkan bahwa salah satu pengaruh postmodernisme dalam budaya adalah film-film yang dibuat tidak memberikan akhir yang bahagia dimana tokoh antagonislah yang keluar sebagai pemenang atau sebuah film berakhir tanpa solusi. Salah satu contohnya adalah film Basic Instinct. Namun mengingat kembali film-film yang ditonton akhir-akhir ini, tidak banyak yang berakhir dengan sedih. Akhir yang bahagia tetap menjadi kerinduan dari para penonton. Inilah juga menjadi cermin kita sebagai manusia. Kita menginginkan akhir yang bahagia bagi kehidupan kita. Namun sayangnya realitas yang kita temui mungkin sama dengan Sketeer. Lihat sekelilingmu, adakah akhir yang bahagia di sana? Kita tentu bisa langsung menjawab, ya dan tidak. Ada yang mengalami akhir yang bahagia, ada yang tidak. Tapi apakah cerita hidup itu sudah tiba pada akhir dan selesai? Inilah titik persimpangan yang memisahkan jalan setiap orang. Bagi sebagian orang, cerita hidup sudah berakhir saat usaha bangkrut, ditinggalkan kekasih, merasa tidak lagi dicintai, malu, dsb yang mengakibatkan orang-orang ini mengakhiri cerita hidup mereka sebelum waktunya. Bukan saja kejadian menyakitkan yang mendorong orang mengakhiri cerita hidup. Mereka yang dalam kebahagiaan pun bisa menganggap cerita hidup sudah selesai sehingga mengakibatkan mereka jatuh ketika menghadapi realita bahwa cerita masih bersambung. Murid-murid Yesus adalah contoh dari orang-orang seperti ini. Yudas Iskariot berpikir bahwa Yesus bisa meloloskan diri bahkan mengadakan pemberontakan dan menegakan negara Israel saat dia ditangkap. Karena itu dia menyerahkan Yesus. Tapi sayang, pikiran dia tidak sama dengan pikiran Tuhan. Yesus pada akhirnya mati di salib dan Yudas pun menggantung dirinya. Murid-murid yang lain pun beranggapan bahwa cerita mereka dengan Yesus telah selesai. Perjalanan bersama Sang Guru selama 3,5 tahun menjadi sia-sia dan mereka pun kembali menjala ikan. Bagi sebagian orang yang lain, kehidupan yang sulit dilihat sebagai suatu babak sedih tapi bukan akhir dari cerita hidup mereka. Saat terduduk lemas di tempat tidurnya, Skeeter berkata : Great Ending ha..., terdengar suara ayahnya Marty menjawab: That was your ending, Son? I thought it was just a sad part. You're about to make it better. Mereka yang bisa menikmati akhir yang bahagia adalah mereka yang mampu melanjutkan hidup sampai akhir. Yang melewati babak yang sedih menuju akhir yang bahagia. Cerita hidup manusia bukan seperti film lepas yang hanya berhenti pada 1 film itu saja. Cerita hidup manusia itu berbabak dan selalu bersambung bahkan lebih panjang dari sinetron Tersanjung. Cerita harus terus dilanjutkan sampai akhir. Lalu, di manakah akhir cerita hidup manusia? Sampai mana manusia harus terus melanjutkan hidup? Tentunya kita setuju dengan Pengkotbah bahwa di rumah dukalah kesudahan setiap manusia. Kematian adalah akhir hidup manusia dan semua akan ke sana. Kalau demikian, bukankah selama masih bisa hidup kita seharusnya tidak pernah berhenti berusaha sampai kematian itu datang? Setelah itu kita akan pergi dalam kedamaian. Tidak perduli dalam kondisi apa waktu maut menjemput entah itu kaya atau miskin, sakit atau sehat, muda atau tua, semua kita akan pergi tanpa membawa apapun dari dunia fana ini. Seperti ungkapan Linkin Park dalam lagunya 'In the end': I tried so hard and got so far But in the end it doesn't even matter I had to fall to lose it all But in the end it doesn't even matter Tapi, apakah cerita hidup Yesus berakhir saat Dia mati disalib? Ternyata tidak. Karena 3 hari kemudian, Dia bangkit. Yudas kehilangan momen ini hanya karena tidak mau menunggu 3 hari lebih lama sebelum mengakhiri hidupnya. Murid-murid lain mendapatkan pemulihan tatkala mendapati bahwa Sang Guru tidak selamanya mati dan terkubur. Tapi Dia bangkit sesuai dengan perkataan-Nya. Para murid pun melanjutkan cerita hidup mereka dan mendapati akhir yang bahagia sekalipun mati sebagai martir tapi mereka menganggap itu sebagai suatu anugerah dan akhir yang bahagia. Kebangkitan Yesus telah menunjukan kepada manusia suatu realita bahwa cerita hidup manusia tidak berakhir saat kematian. Masih ada kehidupan lain yang menanti manusia di sana. Kehidupan yang kekal di mana hanya ada dua tempat: surga dan neraka. Bagi yang beriman kepada Yesus, kita yakin bahwa Yesus yang telah mati dan bangkit telah pergi ke surga mendahului kita untuk menyediakan tempat bagi kita di surga. Kita percaya juga bahwa suatu saat ada pesta besar untuk menyambut kita masuk ke dalam kerajaan-Nya. Dan kita akan hidup bersama Dia happily everafter. Bukankah ini adalah akhir yang bahagia bagi kehidupan orang percaya? Kalau cerita hidup kita sudah pasti berakhir bahagia, apakah yang harus kita kuatirkan selama hidup di dunia yang sementara ini? Penderitaan dan air mata hanyalah bagian sedih dari kehidupan kita. Tapi tidak akan selamanya demikian, karena hidup akan terus berjalan bahkan kematian hanyalah suatu perpindahan babak dari ratapan menjadi akhir yang bahagia. Pesan dari Linkin Park menjadi tidak sepenuhnya benar. Pada akhirnya, it does matter. Karena tidak semua orang akan mempunyai akhir yang bahagia. Kita dihadapkan pada pilihan untuk berakhir bahagia atau berakhir tragis tanpa ada pertolongan lagi. Keputusan itu harus dibuat selama kita hidup di dunia yang sementara ini. Apakah pilihan kita? Selamat merenungkan kembali penderitaan Yesus. The one thing necessary for the triumph of evil is for good men to do nothing. Edmund Burke, 1795

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home